About me

Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Links

Previous Posts


Join me on Friendster!

I just need to write. I don't even know for sure why. A little hope maybe that you and I can learn a thing or twos from this

"Ibu..., ngaji dulu!"

Tuesday, July 17, 2007
At : 9:42 AM

Dulu, waktu Fatih masih belum 1 taun, banyak kekuatiran. Salah satunya perkara perkembangan otaknya karena Fatih cuma mengecap ASI sampe 4 bln aja. Naturally, asupan nutrisi nya lha ya pasti tidak sama dengan yang dapet ASI lebih panjang. Apalagi ternyata baca sebuah artikel di sebuah media massa nasional, kandungan AHA dan DHA yang ada pada susu formula sia-sia. Karena kandungan tersebut hanya bisa diproses kalo ada enzim yang dikeluarkan bersama ASI.

Untuk mengurangi kecemasan tersebut, Fatih diberikan stimulasi dari luar yang cukup. Katanya perkembangan otak dipengaruhi oleh nutrisi dan stimulasi. Sejak bayi disuguhi tontonan edukatif dan permainan edukatif yang menunjang perkembangan otak, motorik, dan emosinya.

Seiring waktu berlalu, secara berkala perkembangan Fatih dicocokan dengan tabel parameter perkembangan anak seusianya. Kalo ada yang belum tercapai, maka Fatih dilatih untuk bisa. Misal, waktu belom bisa berdiri di atas satu kaki, Fatih diajarkan berdiri di atas satu kaki sambil main-main, dll.

Banyak hal-hal yang "tidak terduga", yang kadang bikin kita terperana. Misal, kalo nada dering SMS handphone bunyi, tiba-tiba dia berlari ambil handphone dan nyanyi", Bang, SMS siapa ini, Baaaaang..." sambil kasih HP nya ke aku. Baru ortu nya ngeh kalo dia sudah bisa nyanyi dan perlu lagu lain. Sekarang Fatih sudah bisa nyanyi sendiri beberapa judul lagu anak-anak setelah kita belikan CD/VCD lagu.

Atau seringkali dia menyebut istilah 'ya ampuunnn...', 'ya, Allah...', dan 'Masya Allah...' kalo liat mainannya sendiri berantakan atau ada mainannya yang rusak.

Menyadari Fatih yang mau menginjak usia 3 taun, masa dimana dia menginjak masa puber pertama-masa perlihan menuju masa anak-anak- ortu nya di rumah mulai hati-hati berperilaku. Dia butuh figur untuk dijadikan contoh dan diteladani. Kata-kata, nasihat, dan sejenisnya adalah hal yan paling tidak disukai oleh anak yang menginjak masa ini. Merasa udah besar, knows what to do. Cara terbaik untuk mengajari sesuatu ya dengan kasih contoh langsung.

Untuk memperkenalkan sholat, maka dia diajak sholat bersama. Memakai sajadah yang dia sukai. Kalo gak mau, ya dibiarkan aja. Lama-lama dia minta juga kalo liat kita mau sholatDemikian pula untuk memperkenalkan kebiasaan mengaji Al Qur'an. Sehabis sholat diajak baca Al-Qur'an. Walo dia cuma megang Al-Qur'an nya aja sambil duduk dan ngikutin bacaan akhir tiap ayat aja. Ato sekedar duduk di atas pangkuanku sambil memegang Al-Qur'an dan mendengarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur'an yang keluar dari mulutku.

Suatu saat, setelah selesai sholat maghrib bareng Fatih, aku langsung melepas mukena. Fatih langsung protes," Ibu...,ngaji dulu!" sambil ngambil Al-Qur'an dan terus memberikannya kepada ibunya. Aku pun malu dibuatnya ;-)

Itu barangkali mengapa ada pepatah, jangan liat orangnya, tapi liat apa yang diucapkannya. Faktanya memang seringkali kita bisa belajar dari orang lain, bahkan anak kita sendiri yang masih kecil. Hal-hal kecil tersebut perlahan-lahan mengikis kekuatiran orang tuanya. So far perkembangan Fatih baik-baik saja.

posted by Ira Geraldina's Page at 9:42 AM | Permalink | 0 comment

Dongkrak

Thursday, July 05, 2007
At : 10:41 AM

Tau dongkrak kan? Alat yang dipake buat mengangkat benda sekaligus menjdi tumpuan benda tsb. Itu makna denotasinya. Makna konotasi istilah ini banyak deh kayaknya, termasuk dalam dunia akademik. Misal mahasiswa suka minta tugas tambahan di akhir semester untuk mendongkrak nilai mereka. Biasanya untuk nilai akhir yang nanggung (selisih 0,01-0,1 untuk bisa dapet nilai grade yang di atasnya).

Misal, kisaran nilai B=68-79,99; Nilai C=56-67,99. Mahasiswa XXX mendapat nilai angka = 67,94 (C). Nyesek gak tuh tinggal butuh 0,06 untuk bisa dapet B. Klo udah kayak begini, yang biasanya pada cuek-cuek sama dosen berubah drastis jadi ramah, sering nelpon, dll yang ujung-ujungnya minta tugas untuk mendongkrak nilainya.

Jujur, gampang kok untuk sekedar mendongkrak nilai. Tinggal buka software "Isi Nilai", tambahkan point pada salah satu komponen nilai sesuai kebutuhan, (klo kurangnya 0,06 berarti minimal tambahkan 6 point di salah satu komponen nilai yang bobotnya 10%), dan naik tuh si nilai jadi B.

Masalahnya adalah ...Buat Apa???

Ada beberapa hal yang biasanya jadi bahan pertimbangan:
  1. Nilai akhir merupakan cerminan kinerja akademik mahasiswa selama 1 semester. Nah, kalo kegiatan akademis yang tertuang dalam kontrak perkuliahan sudah berakhir, masa toh ya diada-adakan hanya untuk mendongkrak nilai sebagian mahasiswa saja. Kasian dong mereka yang dapat B tanpa melalui dongkrak-mendongkrak. Penilaian kinerja mahasiswa dan dosen secara keseluruhan akan menjadi blunder.
  2. Nilai A s/d E merupakan konversi nilai absolut yang telah ditetapkan batasan bawah dan atas-nya. Kalo ada dongkrak mendongkrak nilai, lha ya buat apa lagi dibuat batas bawah dan atas untuk setiap grade.
  3. Kebiasaan dongkrak-mendongkrak nilai dalam jangka panjang akan merugikan mahasiswa dan intitusi. Mahasiswa dirugikan karena, mereka pun tau bahwa sebetulnya kemampuan mereka sebatas C, bukan B. Kalo bisa dapet B dengan mendongkrak nilai, buat apa bekerja keras selama satu semester? Bagi institusi jelas imagenya di mata konsumennya sendiri menjadi kurang baik. Lebih gawat lagi kalo sudah tercium oleh masyarakat luas. Motto "Integrity, Knowledge, and Skill" goodbye lah sudah...

Cara diplomatis menghadapi permohonan mahasiswa

Misal mahasiswa datang ke kita dan bilang "Mba, kok saya dapet C, kurang 0,06 mba...Apa gak bisa dapet B? Kasih tugas apa gitu mba..."

Jawab:

"Oya? Emang knapa kalo C? Masih lulus, masih bisa ngambil matkul prasyarat."

Atau,

"Wah sayang ya..., abis gimana, saya cuma input data nilai kamu apa adanya aja. Yang ngitung dan kasih nilai software. Coba kamu minta ke admin, kali aja software salah menghitung...."

Atau,

"Saya sih oke-oke aja, cuma kalo kamu dipenuhi, yang B minta jadi A, lah yang A ntar protes deh. Gimana tuh?"

So far masih mempan lah.

Lain hal nya kalo ada mahasiswa datang dan bilang:

"Mba..., saya kok dapat D sih? Apa gak bisa jadi A?"

Mahasiwa yang kayak gini nih yang langka. Cerdas (bisa jg dibaca kurang tau diri-red), yang lain cuma minta kenaikan satu grade, ini tanpa basa-basi minta A ;-) Gak perlu lah dibahas gimana cara menjawabnya.

Solusi

Kalo mau fair dalam menentukan nilai akhir mahasiswa, institusi ya harus mengganti sistem penilaiannya, dengan memberlakukan plus dan minus. Misal untuk kategori A (A, A+, dan A-), dst.

Itu artinya, mahasiswa harusnya menyampaikan aspirasinya ke pihak yang berwenang, termasuk DIKTI (baca pemerintah). Bisa gak ya?


posted by Ira Geraldina's Page at 10:41 AM | Permalink | 0 comment
Archives

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Message
Name :
Web URL :
Message :
Credits
  Distributed by:
Template copyright :
V4NY ONLY TEMPLATES
Powered by :
Powered by Blogger